SN – Seorang pasien HIV asal Jerman yang berada dalam remisi setelah menjalani transplantasi sel punca, dari donor dengan gen yang sebagian resistan terhadap penyakit tersebut memberikan harapan baru kepada para peneliti, bahwa lebih banyak orang dapat memperoleh manfaat dari pengobatan tersebut.
Langkah pertama dalam transplantasi sel punca bagi penderita kanker melibatkan pemusnahan sel imun pasien dengan kemoterapi. Bila pasien juga mengidap HIV, sel-sel ini dapat digantikan dengan sel punca yang ditransplantasikan dari individu langka dengan gen unik, yang pada dasarnya membuat mereka kebal terhadap virus penyebab AIDS. Hanya segelintir orang di seluruh dunia yang memenuhi syarat untuk prosedur ini karena mereka harus mengidap HIV dan kanker.
Menurut sebuah penelitian yang dipresentasikan oleh Christian Gaebler dari Charité, sekolah kedokteran Universitas Berlin. Pasien HIV asal Jerman tersebut dirawat karena leukemia myeloid akut dengan transplantasi sel punca pada tahun 2015. Ia berhenti mengonsumsi obat antiretroviral pada tahun 2018 dan virus tersebut tetap dalam remisi. Ia adalah satu dari tujuh orang yang mengalami remisi dari HIV antara tahun 2007 dan 2023.
Dalam sebagian besar kasus ini, donor sel punca secara alami mewarisi dua salinan gen yang disebut CCR5 delta 32, yang memberikan resistensi terhadap HIV. Pasien Jerman adalah kasus pertama di mana donor sel punca mewarisi hanya satu salinan gen CCR5 delta 32, menurut Gaebler.
Baca Juga : Trump Bereaksi Terhadap Pengunduran Diri Biden, Menyebutnya Sebagai “Presiden Terburuk”
Para peneliti berharap pengumuman virtual hari Kamis pada konferensi AIDS Internasional ke-25 di Munich, Jerman, dapat membuka pintu bagi pengobatan yang ditawarkan kepada lebih banyak orang dan memiliki implikasi yang menjanjikan bagi strategi penyembuhan HIV di masa depan.
Kasus ini dapat membantu mengembangkan pengobatan baru
Menjelang bulan September, pasien HIV Jerman akan mengalami remisi selama enam tahun, menurut Gaebler, jangka waktu yang membuat para peneliti yakin dengan apa yang mereka lihat.
“Orang sehat punya banyak keinginan, orang sakit hanya satu,” kata pasien anonim itu dalam pernyataan dari IAS, Kamis.
Dr. Marina Klein, seorang profesor kedokteran di Universitas McGill Montreal, mengatakan kasus pria itu dapat memberikan informasi tentang bagaimana perawatan baru dikembangkan.
“Kasus ini menunjukkan bahwa Anda sebenarnya tidak memerlukan 100 persen sel untuk menjadi sepenuhnya resistan,” kata Klein, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 1 persen orang Kaukasia memiliki dua salinan gen resistensi, sementara sekitar 20 persen memiliki satu salinan. Menurut para ahli yang mempelajari HIV, pada individu dengan satu salinan gen, virus berkembang perlahan jika mereka tidak menerima pengobatan antiretroviral, sementara mereka yang memiliki dua salinan tampaknya mampu menahan virus sepenuhnya.
Para peneliti juga berharap hal ini dapat memberikan implikasi yang menjanjikan bagi strategi penyembuhan HIV di masa mendatang yang lebih luas.
Klein, yang mengepalai jaringan uji klinis Kanada untuk HIV, mencatat bahwa diagnosis HIV meningkat hampir 25 persen antara tahun 2021 dan 2022. Ia mengatakan hal itu membuat pencapaian tujuan pemberantasan penyakit tersebut menjadi lebih sulit.
“Orang terkadang menjadi tidak sabaran, namun pembelajaran yang bertahap inilah yang pada akhirnya membawa kita pada jalan penyembuhan,” ungkapnya.
Eric Arts, seorang profesor mikrobiologi dan imunologi di Universitas Western, mempelajari cara mengendalikan HIV.
Meskipun ia merasa gembira karena pasien tidak perlu lagi minum obat untuk mengendalikan HIV, Arts mengatakan peningkatan pendekatan tersebut sehingga dapat digunakan pada pasien lain memiliki tantangan tersendiri.
“Solusi yang mereka gunakan untuk mengobati leukemia sejak awal bukanlah solusi untuk HIV,” kata Arts. “Untuk benar-benar mengatasi pandemi [HIV] secara keseluruhan, solusi tersebut harus tersedia untuk semua orang.”
Baca Juga : Agus Sistyo Widjayati: Sinergi Perbankan untuk Masa Depan NTT yang Lebih Cerah
Ketika penderita HIV menjalani pengobatan antiretroviral, mereka dapat menjalani kehidupan normal, kata Arts. Bagi mereka, tingkat kelangsungan hidup yang rendah dari transplantasi sel punca dan biayanya tidak dapat dibenarkan, dibandingkan dengan penderita leukemia yang tidak memiliki pilihan lain.
Sebagai pengidap HIV, Jean-Paul Michael mengelola penyakitnya dengan antiretroviral. Namun, saat pertama kali didiagnosis, ia tidak mampu membeli obatnya.
Stigma seputar HIV masih sangat lazim, kata Michael, seraya mencatat bahwa “ada banyak reaksi negatif saat orang mendengarnya.” Kini ia bekerja sebagai manajer kasus kecanduan di unit gawat darurat Rumah Sakit St. Michael di Toronto.
Baik Michael maupun Klein menyerukan agar pengobatan antiretroviral dapat diakses oleh semua orang.
“Jika kita bisa sampai pada titik di mana kita benar-benar bisa mengajarkan sistem imun untuk menangani virus ini dengan cara yang tidak memerlukan obat-obatan … itu akan menjadi kemajuan besar,” tutup Klein. (Red)
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.