Kritis Menimbang Kekuatan Para Calon Gubernur NTT

Editor: Pius Rengka
IMG 20240424 161408

Oleh Pius Rengka

Opini, SN – Enam calon Gubernur NTT kini beredar di banyak media. Mereka itu, Ansy Lema, Melki Lakalena, Johny Asadoma, Simon Petrus Kamlasi, Orias Petrus Mudak dan Frans Go.

Sedangkan para calon lainnya, yang pernah disebut-sebut, perlahan kabur memudar, karena jarang dibicarakan lagi di kalangan luas. Mereka itu, Gabriel Goa, Dr. Frans Aba, Emmy Nomleni, Dr. Joseph Naisoi dan Dr. Benny Kabur Harman.

Ada juga pertanyaan apakah Dr. Viktor Laiskodat akan daftar calon periode kedua? Saat tulisan ini dibuat, diperoleh kabar pasti, mantan gubernur sangat viral dan fenomenal itu tidak ikut pencalonan Gubernur NTT periode 2024-2029.

Ansy Lema, politisi PDIP. Ia terpilih menjadi anggota DPR RI untuk periode kedua 2024-2029. Ansy Lema, politisi muda, lentur dan cukup cerdas. Ia didorong oleh kelompok kepentingan di Flores, Timor dan Sumba. Mereka menginginkan Ansy melepaskan jabatannya sebagai anggota DPR RI dan bertarung dalam medan perebutan kursi gubernur. Kelompok ini menilai, pikiran dan semangat perubahan yang ditularkan Ansy selama ini cocok dengan harapan khalayak ramai. Ansy punya pemahaman cukup terhadap problematika NTT. Bahkan rekam jejak politiknya dicatat jelas sejak dia terlibat aktif di Pilkada Jakarta ketika ia membela Ahok pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kejamnya politik sektarian Jakarta mematangkan Ansy untuk mengelola faksi-faksi politik ala NTT. Demikian pendapat para pendukung.

Begitu pun Melki Lakalena, Ketua DPD Golkar NTT. Opini senada bergema untuk Melki Lakalena. Politisi muda Golkar ini, reputatif komunikatif. Ia meroket cepat memasuki sarang inti di DPR RI hingga dirinya terpilih menjadi Wakil Ketua salah satu Komisi di DPR RI. Prestasi demikian jarang diperoleh oleh politisi seangkatannya dari Golkar NTT. Prestasi dan reputasi Melki, dikenal luas. Ia sangat diperhitungkan oleh para lawan tandingnya. Ia bahkan membukukan banyak jejak sejarah moderasi politik di tubuh Golkar NTT. Pada masa kepemimpinannyalah Golkar NTT meroket tatkala banyak anak muda meraih kursi legislatif.

Sementara itu, Johny Asadoma, dikabarkan sedang mendaftar di beberapa partai politik. Irjen. Pol. Drs. Johanis Asadoma, S.I.K., M.Hum, mantan Kepala Kepolisian Daerah NTT. Ia purnawirawan Polri. Jabatan terakhirnya adalah Analis Kebijakan Utama Bidang Misinter Divhubinter Polri. Asadoma, lulusan Akpol 1989 berpengalaman dalam bidang Brimob. Pria kelahiran 8 Januari 1966 lulusan Akpol 1989 berasal dari Alor. Catatan reputatif yang dikenang bangsa ini ialah ketika dia memimpin Kontingen Garuda Bhayangkara FPU Indonesia pertama yang bergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB di Dafur, Sudan, 11 Oktober 2008. Sebelum polisi, Johanis Asadoma adalah petinju nasional Indonesia (amatir) yang meraih berbagai prestasi tingkat nasional dan internasional. Polisi yang selalu tampil kalem, tetapi cerdas ini, kini terjun ke politik elektoral karena masih banyak hal di NTT yang dinilainya membutuhkan sentuhan praktis melalui pembuatan kebijakan publik.

Baca Juga :  Misteri di Balik Pengunduran Diri Ratu Ngadu Bonu Wulla: Politik Transaksional dalam Permainan Elite Partai

Berbeda dengan Simon Petrus Kamlasi. Kepala Staf Korem 161/Wirasakti Kupang itu, dilirik beberapa partai politik berpengaruh. Ia didorong menjadi Gubernur NTT lantaran ia telah banyak melakukan karya sosial yang memobilisasi kemakmuran petani dan peternak khususnya di Timor. Semua aktivitasnya itu dilakukan diam-diam tanpa banyak publikasi. Tetapi, dia pekerja keras, disiplin dan cerdas. Nama Kepala Staf Korem 161/Wirasakti Kupang ini mencuat di Gerindra dan NasDem. Kolonel Cpl. Simon Petrus Kamlasi menjabat Kasrem 161/Wirasakti Kupang, 8 Oktober 2022. Sejak pelantikannya, putra Timor Tengah Selatan ini membawa banyak perubahan hubungan petani peternak dengan militer, ketika banyak kegiatan yang bersentuhan dengan mobilisasi peningkatan pendapatan petani peternak. Tentara kelahiran 14 April 1975 ini datang dari keluarga guru sederhana. Komunitas pertama yang menghembuskan dukungan pencalonannya sebagai Gubernur NTT datang dari warga Desa Kuaken, Kecamatan Noemuti Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) menyusul serial bantuan yag diberikannya antara lain sumur bor bagi para petani dan peternak.

Sedangkan Orias Petrus Mudak, karyawan perusahaan yang sukses. Ia salah satu yang dipertimbangkan PDIP. Ia lahir di Kupang, 26 Agustus 1967. Ia menikah. Dikaruniahi tiga anak, tinggal di Jakarta. Ia mengawali pendidikan di SDK Don Bosko 3 Kupang, tamat 1980. Kemudian SMP Negeri 2 Kupang, selesai 1983. Setelahnya SMA Negeri 1 Kupang pada 1984. Ia mendapat beasiswa. Pindah ke SMA Negeri 1 Garut tamat 1986. Lalu Orias kuliah di Jurusan Akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Bandung, selesai 1990. Karier profesionalnya dimulai sebagai Senior Auditor KAP Santoso Harsokusumo, member of Ernst & Young International (1991-1994). Ia menjabat Direktur Corporate Finance PT Bahana Securities (1994-2000). Ia berkarir di Singapura menjadi Managing Director Investement Banking Daiwa Capital Markets Singapore Ltd (2010-2014). Dia kembali ke Indonesia karena ‘ditarik’ oleh Direktur Utama Pelindo II saat itu, RJ Lino. Orias menjabat Direktur Keuangan Pelindo II (2014-2016). Selanjutnya, ia dipromosikan menjadi Direktur Utama Pelindo III (2016-2017). Pindah di perusahaan BUMN. Ia menjabat Direktur Keuangan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), BUMN pertambangan batu bara. Kemudian dia menjabat Direktur Keuangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Lalu, dipercayakan sebagai Wakil Direktur Utama PT Freeport Indonesia. Ia dipromosi menjadi Direktur Utama PT Inalum (Persero), holding dari BUMN pertambangan. Hingga kini dia masih menjabat komisaris sejumlah perusahaan, di antaranya Komisaris Independen PT Rukun Raharja, Jakarta (2023-Sekarang). Salah satu ucapan yang menggetarkan ketika Orias mengatakan: “Prinsip kerja jujur itu, jangan mencuri, karena mencuri itu mengambil hak orang lain. Saya jamin NTT bisa maju asalkan jangan mencuri saja”.

Baca Juga :  Nelayan Kita dan Pertanian Kita

Pengalaman Orias nyaris mirip dengan Frans Go, pengusaha sukses. Dia ditaksir PKB. Fransiscus Go, lahir di Kefamenanu, NTT, 8 Agustus 1968. Dia menghabiskan masa kecil dan remaja di NTT, tempat ia menempuh pendidikan dasar hingga menengah di SMA Negeri 1 Kupang. Demi memburu mimpi lebih tinggi, Frans Go merantau ke Yogyakarta untuk kuliah. Tahun 1987, ia kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Atma Jaya dan di Fakultas Hukum jurusan Hukum Bisnis di Universitas Gadjah Mada. Frans aktif berkontribusi dalam Kamar Dagang Industri (KADIN) Indonesia, menjabat di Komite Tetap Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKNL). Demi membantu kaum lemah, ia mendirikan GMT Property Management, perusahaan pengelolaan properti dengan layanan yang meliputi Home Care Unit, Building Care Unit, Institute of Property Management, GMT Technology, dan GMT Commercial. Kantor pusatnya di Jl. Kendal No. 1 Menteng, Jakarta Pusat. Fransiscus Go juga pelopor pemberdayaan sosial, di NTT. Ia aktif mengembangkan infrastruktur pendidikan di NTT. Ia pun menjadi inisiator dan penyokong utama gerakan BAJAGA (Baku Jaga), sebuah inisiatif solidaritas dan gotong royong. Gerakan ini mengundang semua warga NTT untuk bergandengan tangan dalam membantu, menolong, dan melindungi satu sama lain, dengan fokus pada kelompok rentan yang sering menjadi korban human trafficking atau perdagangan manusia di luar negeri. Gerakan BAJAGA tumbuh dan berkembang, menjadi gerakan yang luas diikuti warga NTT, terutama para pemuda yang memiliki visi serupa tentang masa depan NTT yang lebih baik dan berkeadaban. Inisiatif ini tidak hanya mencerminkan kepedulian Frans terhadap tanah kelahirannya, tetapi juga menegaskan komitmennya terhadap kesejahteraan dan martabat umat manusia.

Serius Menimbang:

Pertama, untuk para calon pemilih. Para pemilih perlu dan wajib kritis menimbang siapa gerangan di antaranya yang patut dipilih setelah menelaah dengan cermat kapasitas dan integritas para calon. Pertimbangan tentu saja tidak hanya karena membaca deretan bio data mereka, tetapi juga perlu mengenal mereka dari dekat. Demi gampangnya, perhatikan track record para calon.

Mengapa itu pentig? Sebab tindakan memilih calon adalah tindakan politik yang dilakukan para pemilih demi pemilih itu sendiri bukan untuk orang yang dipilih. Para pemilih memilih calon agar calon yang dipilih dapat menyelesaikan masalah para pemilih.

Kedua, untuk para calon gubernur. Catatan saya adalah ini. Ansy Lema dan Melki Lakalena, masing-masing diusung PDIP dan Golkar. Pencalonan kedua tokoh muda ini relatif lebih mudah dibanding lainnya karena Ansy dan Melki memiliki rumah partai politik sendiri sebagai pengusung. Belanja partai, mungkin relatif lebih murah.

Baca Juga :  Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, S.H., M.H., Sebuah Lilin Harapan Bagi Kemajuan Malaka

Ansy dan Melki pasti mengajak partai lain sebagai mitra koalisi demi menggenapi syarat minimal pengusungan calon. Nah, tinggal memilih satu dari enam peluang tergampang teori koalisi yang dikenal di dunia (vide: William Harrison Riker, 1962; Arend Ljiphart, 1999).

Namun, satu hal telah sangat jelas dengan sendirinya. Koalisi partai politik di Indonesia, tidak mudah dan tidak murah. Mengapa? Karena koalisi partai politik versi Indonesia tidak berbasis pada spektrum imajinasi kedekatan ideologis partai. Koalisi selalu ditentukan oleh kesepakatan harga jual beli kursi.

Jika harga jual paling murah Rp. 500 juta/kursi, maka PDIP dan Golkar harus belanja minimal 4 kursi atau setara dengan Rp. 2 miliar. Itu pun jika partai asal kandidat tidak ikut-ikutan minta duit.

Namun, Ansy dan Melki patut serius mempertimbangkan sikap yang dipilih karena keduanya telah terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2024-2029. Jika PDIP dan Golkar mencalonkan keduanya, maka Ansy dan Melki harus mengudurkan diri dari DPR RI seturut ketentuan Undang-undang.

Pilihan ini tentu saja, sungguh sangat tidak mudah. Dilematis. Bahkan ambivalen atau multivalen. Maka Ansy dan Melki harus serius mempertimbangkannya. Mana pilihan yang lebih menguntungkan. Membuang keuntungan yang telah nyata-nyata ada di tangan atau membayangkan keuntungan yang belum tentu diperoleh. Belum dihitung berapa kiranya biaya yang mesti digelontorkan untuk mengikuti seluruh etape elektorasi. Jalan yang ditempuh memang masih sangat panjang. Tetapi, jalan apa pun yang dipilih tentulah berisiko, toh mesti ditempuh. Jalan yang ditempuh bukan tanpa rasionalitas praktis. Karena hidup ini tidak lebih dari tumpukan pilihan.

Hal serupa bakal dihadapi empat calon lain. Johny Asadoma, Simon Petrus Kamlasi, Orias Petrus Mudak dan Frans Go terpaksa membeli semua partai koalisi yang bakal mengusung mereka. Maka belanja partai pasti akan jauh lebih besar dibandingkan dengan dua calon terdahulu.

Untung saja, ada dua partai yang saya kenal yang pasti tidak meminta mahar pencalonan yaitu NasDem dan PSI. Entahlah partai lain. Saya berdoa agar partai-partai lain mengikuti teladan baik dua partai ini.

Saya kira, jauh sebelum tulisan ini dibuat, para kandidat telah tahu tantangan yang bakal dihadapi. Karena itu mereka telah siap sedia menjalani jalan salib ini dengan baik dan benar.

Maka mungkin perlu dicermati, semacam bekal perjalanan, nasihat mantan Gubernur NTT, Dr. Viktor B. Laiskodat. Kata Viktor: “There is no glory without suffering” = tidak ada kemuliaan tanpa melalui penderitaan. Selamat berjuang.

 

 

 

  • Bagikan